Menuju Negara Tanpa Bentuk

Coba anda baca tulisan  Febri Diansyah “Pelangi Korupsi Politisi” http://febridiansyah.wordpress.com/2012/07/02/pelangi-korupsi-politisi/ menarik namun menyimpan sebuah kegaduhan,kegundaan betapa bobroknya mental elit negri ini.

 Komitmen politik, baik dari Presiden SBY ataupun parlemen terasa hambar dan nyaris “pura-pura”.,

Demikian  kalimat yang memberikan gambaran fakta keseharian yang ditonton segenap anak bangsa.Sebuah kalimat yang sangat dalam jika menyimak latar belakang sang penulis (ICW).
Menelisik permasalahan KORUPSI mungkin satu periode jadwal ketatanegaraan kita (5 tahun) tak cukup membersihkannya atau lasim diberantas.Sangat ngeri karena sebaris kalimat diatas menyentuh 2 kelembagaan yakni Eksikutif,Presiden (SBY) dan Legislatif   (Perlemen) yang “berpura-pura”.

Dapat dipastikan bukan nyaris lagi,tapi negara ini telah runtuh,jika KPK dan ICW dapat optimal bekerja sinergis.Betapa dipastikan lemahnya 2 pilar (eksikutif dan legislative) dalam menjalankan amanah Rakyat.Kesan yang diperoleh tentu mereka bekerja bukan untuk kesejahteraan rakyat lagi tapi kesejahteraan pribadi,kelompok atau partai.

Sedangkan menyangkut komitmen SBY  “nyaris pura-pura”,dapat dicermati dari pidato SBY tentang ranking korupsi partai politik,yang tanpa sadar atau sengaja diucapkan.Tak seharusnya seorang Presiden membuat ranking korupsi karena substansi masalahnya korupsi harus diberantas kecil maupun besar.

Jika KPK Tegas tanpa terukur apa akibatnya ?

“Pelangi” yang dimaksud adalah warna bendera Partai Politik,anggaplah,Agus Tjondro,Panda Nababan cs dari bendera “Merah” pada kasus Nunun dan Miranda.Angelina Sondakh dan M Nazaruddin bendera “biru”,Wa Ode “Biru Muda Matahari”,dan yang terakhir Zulkarnain Djabar dari bendera “Kuning”.Dalam paparan tulisan Febri Diansyah jika saya hitung ada sekitar 100 an Politisi (tergabung mantan dan aktif,terakumulasi hingga 50 nama aliran dana Bank Indonesia yang disebutkan sdr Hamka Yandhu ).
 

Jika KPK dengan kemampuan optimal dapat memenjarakan mereka maka sebuah TRAGEDI terjadi Negara ini tak memiliki DPR dimana anggotanya masuk bui semua.Sejarah dunia akan mencatat sebuah Negara yang dikelola dengan semangat KORUP oleh mereka yang setiap 5 tahun berjanji memperjuangkan Kesejahteraan Rakyat,sesuai amanah UUD 45. PAW mungkin sebuah hal yang dianggap polesan semata sebab pasti DPR tak dapat melaksanakan fungsinya dengan optimal.Bukankah seorang anggota legislative baru butuh beradaptasi?,waktu terbuang hanya dengan gonta ganti manusianya.

Tuduhan pada KPK adalah FITNAH
Jadi saat ini dapat dijawab berbagai pertanyaan dan tuduhan pada KPK bahwa diintervensi kekuatan politik tertentu untuk memberanguskan lawan lawan politik adalah FITNAH.KPK tentu hanya sebuah Lembaga yang dikelolah oleh Manusia yang teruji Kenegarawanannya,jika pada orde baru kita sering jumpai kalimat “Demi Kepentingan Umum”,maka orde reformasi kita mungkin HARUS berkata “Demi Negara Agar Tak Runtuh dan Tak Berbentuk ”.Tak bisa juga kita menafikan jika ada oknum KPK yang nakal,mungkin sebatas BAP yang direkayasa.Jika ada politisi parpol tertentu berbicara bahwa ada konspirasi KPK yang dimanfaatkan lawan politiknya TERBANTAHKAN.

Bahwa KPK sedang membidik Politisi,harus kita suport sebab dana negara dilegislasikan pada 3 tugas pokok legislative.Sebuah skema pemberantasan korupsi yang harus kita hargai diera Abraham Samad Cs. Korupsi Birokrat tentu setali tiga uang dengan apa yang terjadi di DPR,sebab disanalah awal berlangsung,sebagaimana satuan 3 masih menjadi kewenangan DPR/banggar.
Akankah Pelangi Korupsi Politisi Berakhir ?
Bila banyak partai politik sesumbar mengatakan akan menggembleng kader partainya untuk meminimalkan terjadinya korupsi politisi,dapat dipastikan adalah kepura puraan saja.Ada partai politik yang memodali kadernya dalam berkompetisi kelak pada pemilu legislative itupun hanya sebuah solusi sementara saja,sebab akan muncul kelak “Demi Kelangsungan Partai” anggota terpilih akan melakukan “permintaan pemilik modal”.
Bahkan tak jarang barter pasal terjadi atas dasar “permintaan pemilik modal”,hal yang sangat berbahaya,sebab karena kita lupa dan teliti pada 4 kali amandemen UUD 45,namun hasilnya pasal pasal telah tereduksi,lemah tak memiliki roh kebangsaan,nasionalisme.

Pemilu yang di selenggarakan pada tahun 1999 di ikuti oleh sekitar 48 partai politik dan pemilu ini di nilai sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah pemilu di indonesia Munculnya Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998 membawa implikasi pada munculnya partai-partai dengan aliran politik masing-masing, termasuk partai agama.
Pada tahun 2004 jumlah partai yang ikut dalam pemilu Indonesia adalah sebanyak 24 partai. Dari 24 partai yang ikut dalam pemilu calon legislatif di “adu” dengan calon lain dari partai lain sehingga setiap calon harus mempunyai strategi dalam “berperang” dengan calon lain untuk mendapatkan kursi empuk,inilah awal dari bencana korupsi politisi,terkait pada dana yang dikeluarkan saat kampanye,atau mendapat “Nomor Jadi”.
Pada Pemilu 2009 partai di Indonesia yang ikut dalam pemilu adalah sebanyak 34 partai. Namun masih ada “proyek” terselubung dibalik pemilu 2009. Sistem pemilihan caleg nya di pilih dengan metode suara terbanyak bagi para caleg tersebut. Tanpa kita sadari ini merupakan indikasi bahwa tidak hanya partai yang berkuasa yang di “adu “ untuk bersaing dalam kancah politik kekuasaan, namun dalam kubu partaipun sesama anggota caleg dalam satu partai pun menjadi “berperang” dalam mendapatkan suara terbanyak.TRAGEDI,sebuah kepalsuan terbungkus CITRA,sebab amandemen UUD 45 sudah mendukung seseorang presiden mengumbar janji tanpa ada konsekwensi DIBERHENTIKAN.Ikuti saja proses sesuai prosedur,ke MK,akan memakan waktu yang panjang mungkin lebih dari 1 periode (5 tahun). Presiden dalam banyak hal dikritik Politik Pencitraan namun sipengkritik tak memahami substansi masalah ada pada lemahnya UUD 45 hasil amandemen.Bisa saja Febri Diansyah mengatakan SBY dan Parlemen nyaris “pura-pura”
Bagaimana dengan 2014,hal yang samapun terjadi sama sebangun dengan 2009,saya mohon maaf pada tokoh tokoh politisi senior yang sering membuat pernyataan “Demokrasi Indonesia Sedang Mencari Bentuk”,apakah mereka sudah lupa :
SELEPAS Pemilu 1955 para politisi Indonesia menaruh  harapan besar, Indonesia akan menjadi negara demokrasi yang liberalistik. Pemilu dengan sistem multi-partai dan dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, aman, dan tertib merupakan titik awal kebebasan berpolitik. Ada keinginan sebagian masyarakat pada perjalanan demokrasi itu terjadi sublimasi kepartaian. Dari multi-partai tanpa batas ke multi-partai terbatas.

Keinginan itu muncul dari rasa khawatir sebagian masyarakat, terutama kaum birokrat. Mereka berasumsi sistem multi-partai hanya akan melebarkan jurang ketidaksepahaman. Akibatnya bangsa Indonesia akan terus didera konflik internal.
  Kenyataannya memang demikian, paling tidak menurut kacamata pemerintah. Konstituante hasil Pemilu 1955 selama empat tahun tidak menghasilkan apa-apa. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Soekarno, mengecam kinerja Konstituante yang dinilainya sangat lamban akibat perbedaan yang sangat tajam antar-anggota dan antar-fraksi. Karena itu Konstituante harus dibubarkan. Dekrit Presiden 1959 tentang pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, membuyarkan semua harapan kaum politisi.

Semua sudah ada keputusan dan pengesahan tentang UU Pemilu 
Perubahan undang-undang nomor 10 tahun 2008 menjadi UU nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu legislatif menyisakan sejumlah persoalan. Beberapa partai menilai undang-undang ini memberikan peluang lebar bagi partai besar dan sebaliknya mematikan partai kecil.
 

Secara umum, lahirnya UU pemilu baru ini bertujuan menyederhanakan multipartai serta efisiensi pelaksanaan pemilu.
Maka jawaban Pelangi Korupsi Politisi TIDAK akan berakhir,mengapa kita tak menyederhanakan Jumlah Partai Politik ,dan masih bereksperimen,padahal sejarah diatas sudah membuktikannya ? Bukankah kita akan segera menjadi Negara Tanpa Bentuk

Devide et Impera
Diera Ir Soekarno kita ingat pemberontakan PERMESTA perlawanan daerah yang menuntut keseimbangan pembangunan Jawa dan luar jawa.Lengernya Ir Soekarno berganti Soeharto terkenal dengan Sentralisasi bermunculah Desentralisasi ,lengsernya Soeharto kita di kenalkan dengan Otonomi daerah,namun semua adalah teori semata pelaksanaan setengah hati,bahkan pengamandemen UUD 45 tak diikuti aturan peundangan,semua terkesan tambal sulam.Muncul perlawanan daerah tingkat I dan II,banyaknya ketidak adilan yang diterima masyarakat lokal.Otonomi Daerah yang setengah hati dilakukan.Akibatnya banyak kasus Ketatanegaraan digugat.negara seakan kalah terhadap seorang Profesor Tatanegara.

Memang bergulirnya semangat Otonomi Daerah
Mahasiswa '98 dengan menggunakan dialektika ide saja tanpa merujuk kepada dialektika material (penelitian ilmiah lapangan yang komprehensif maupun pengalaman empiris yang terukur) langsung merespon (menyambar) ide tersebut dengan cepat. Ide itu langsung diterima begitu saja dan kemudian disuarakan untuk diperjuangkan. Bahkan sampai-sampai Otda ini dimasukkan menjadi salah satu Amanat Reformasi.Gerilya siluman asing merombak semua tatanan budaya,mengcopas semua data potensi SDA,membungkus "Lembaga Donor".

”Devide et Impera” segera dan harus dienyahkan sekarang juga kita menuju negara tanpa bentuk disebabkan ALPA kita pada Perjalanan Sejarah sendiri.