Menggugat "Deklarasi Theologie" Untuk PAPUA

PANCASILA adalah Idiologi Negara kita yang bernama REPUBLIK INDONESIA.
“Demokrasi seharusnya disesuikan dengan kearifan lokal dan budaya suatu bangsa. Demokrasi jangan menjadi legitimasi untuk menjajah orang atau bangsa lain, sebab itu tidak diajarkan oleh Tuhan dalam makna kebebasan hidup”.

Sama seperti ketika Che Guevara mengatakan bahwa “Saya Belum Menjadi Kristen Kalau Saya Belum Berjuang Untuk Membebaskan Orang Lain Dari Ketidakadilan”.
Dan sama seperti motto Dr Sam Ratulangi : “Si Tou Timou Tumou Tou”, artinya: “Manusia hidup untuk menghidupi (sesama) manusia”. Bila kita gabungkan kedua filsafat tersebut, maka kita mendapatkan “Aku ada untuk Engkau!”
Dalam catatan opini ini saya mengugat “Deklarasi Theologie” yang isinya sebagai berikut :

Pertama, sejak integrasi ke dalam Negara Indonesia, Papua menjadi wilayah bermasalah.
Kedua, warga gereja telah mengarah pada proses genosida, terutama melalui kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada orang Papua dan operasi militer yang berujung pada rentannya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, gereja mengakui dosanya karena tidak berdaya melawan kebijakan pemerintah pusat sebagai penjajahan internal dan perbudakan terselubung.
Keempat, gereja berupaya menjawab tantangan warga gereja dan kembali kepada Alkitab dan sejarah gereja sebagai pedoman.
Kelima, gereja siap bertanggung jawab untuk menyuarakan teriakan warga gereja sebagai konsekuensi logis tugas kegembalaan dari panggilan gereja dalam mewartakan Firman Tuhan Allah.
Keenam, Pemerntah Indonesia harus harus membuka dialog yang di mediasi oleh pihak ketiga.
Ketujuh, pihaknya menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatan dan nyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang sedang melakukan penjajahan internal dan pembasmian etnis serta perbudakan terselubung.
Kedelapan, warga umat Tuhan di Papua dan dimana saja, diajak untuk terus berdoa bagi para pimpinan gereja dalam solidaritas, agar menjadi teguh dalam menghadapi tantangan.

Deklarasi Theologia tercetus karena melihat keengganan pemerintah menjawab 11 rekomendasi pada tanggal 26 Januari 2011 para pemimpin gereja di Papua, yaitu Pendeta Drs Elly D. Doirebo, MSi, dari Sinode GKI Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, dan Pendeta Dr Benny Giay dari Sinode Gereja Kingmi Papua, mengeluarkan delapan Deklarasi Teologia.

PEMILIHAN keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan amanat dari pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diminta dihentikan. Pasalnya sudah hampir 10 (sepuluh) tahun Otsus hadir, namun telah gagal mensejahterakan orang asli Papua.

Awal penolakan pemilihaan keanggotaan MRP bermula saat pemimpin gereja, Dewan Adat Papua (DAP), tokoh pemuda dan mahasiswa bersama MRP melakukan Musyawarah Besar (Mubes) pada tanggal 9-10 Juni tahun 2010 di kantor MRP, Kotaraja. Ia menghasilkan 11 rekomendasi kepada pemerintah pusat”.
Terlepas dari adanya rasa kekecewaan karena berbagai upaya telah dilakukan warga Papua tak terpenuhi oleh Pemerintahan Jakarta,tak harus serta merta menjadikan REFERENDUM PAPUA Solusi akhir yang terkesan di motori oleh para pemuka agama Kristen.
PANCASILA telah kita sama sama perjuangkan walau memang Rakyat Papua hadir bersama saudara saudara dari Sabang Merauke nanti pada tahun 1969.Sidang umum PBB pada 19 November 1969 lewat resolusi nomor 2504 yang isinya antara lain mengesahkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Irian Barat sesuai dengan persetujuan New York.
PAPUA telah bersama sama saudara saudaranya 40 tahun lebih lamanya dalam bingkai NKRI.
Maka yakinlah akan perjuangan kalian adalah perjuangan kami yang berada di Nusantara Kaya Raya ini.Tak pandang SUKU ,AGAMA RAS,inilah INDONESIA yang berdasarkan PANCASILA.Memang wajar kita mempertanyakan ,Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (termasuk Papua).
Referendum : penyerahan suatu masalah kpd orang banyak supaya mereka yg menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen). Penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat).
Referendum Papua mengingatkan saya pada Referendum Timor Timur (dulu),sekarang Timor Leste,tak terbayangkan bagaimana eskalasi konflik yang tak menyelelesaikan.Warga Timor Timur sampai saat ini masih ada di camp camp penampungan,sementara hubungan kekeluargaan mengalami kendala akibat ideologi berbeda.
Menjadi pertanyaan sudahkah kaum agamawan melihat semua ini ? “Deklarasi Thelogie”, berisikan “Nafas AGUNG”,akankah menjadikan seluruh Rakyat Papua Makmur dan Sejahtera sesuai yang di idam idamkan ?.
Saya mengajak para Pemuka Agama yang ada di Tanah Papua untuk kita tak masuk dalam praktek Politik Praktis.Memperjuangkan ala Che Guevara yang mengatakan bahwa “Saya Belum Menjadi Kristen Kalau Saya Belum Berjuang Untuk Membebaskan Orang Lain Dari Ketidakadilan” memang bisa kita jadikan hal positip jika hal tersebut tanpa embel embel “Pendeta,maupun Pastor”.Tetapi Keadilan yang bersifat secara universal adalah tujuan kita ,”keadilan bagi seluruh umat manusia”,tanpa memandang Suku,Ras dan Agama karena PANCASILA telah kita terima.Pancasila menghadirkan kita akan KETUHANAN YANG MAHA ESA bukan atas nama agama tertentu tak memandang Minoritas maupun Mayoritas.Apakah setelah Referendum atau saat demokrasi yg sesungguhnya diberikan kepada bangsa Papua, apakah demokrasi tersebut tidak akan memakan korban bagi orang Papua sendiri ?.Sangat mengerikan jika hal hal yang tak terbayangkan oleh para pendeta pemuka agama Kristen,bagaimana tanggung jawab moralnya ? apalagi pada Tuhan ? jika adanya kegagalan?.siapkah ?.
Dr. Kasis Karl, seorang filosof dan peraih nobel, dalam bukunya Manusia, Itulah Kebodohannya, mengatakan, ”peradaban Barat hanya berorientasi pada benda-benda mati dan tidak memberikan manusia haknya. Peradaban Barat telah memperbodoh manusia, anugrah hidup, kemampuan-kemampuan serta kebutuhannya”.
Demokrasi berasal dari kata klasik Demos dan Kratos dalam bahasa Yunani yang artinya adalah Pemerintahan yg dilakukan oleh, dari dan untuk rakyat itu sendiri.
Sementara itu jauh sesudahnya demokrasi terus berkembang sesuai dengan kearifan budaya dan lingkungan masyarakat. Para pesiarah yg lari dari Spanyol dan Inggris atas ketidakpuasan mereka terhadap kerajaan dengan aturan-aturan agama Katolik yg dianggap terlalu otoriter membuat mereka bercita-cita untuk mencari tempat baru agar mereka dapat hidup bebas dalam menentukan nasib sendiri.
Freeport adalah wujud Demokrasi ala Uncle Sam
Amerika Serikat bisa “berbangga” akan Demokrasi sebuah benua baru yg menjadi tempat bagi mereka untuk menumbuhkan cita-cita HIDUP BEBAS tersebut. Lahirlah cita-cita hidup bebas tersebut melalui khotbah-khotbah diatas mimbar dan diakhiri dengan diskusi-diskusi singkat setiap hari minggu oleh pendeta-pendeta dan jemaatnya tentang konsep hidup bebas seperti yg telah diajarkan oleh Yesus Kristus kepada umat-Nya.
Itulah konsep demokrasi mula-mula yg lahir ditengah-tengah umat Kristen di Amerika. Oleh sebab itu tidaklah heran dikalangan Kristen fundamentalis mula-mula yg lahir di negara Uncle Sam ini percaya dan meyakini bahwa USA adalah Tanah Perjanjian atau inilah negeri yg dimaksud dengan Yerusalem Baru dalam kitab perjanjian baru. Perlahan tapi pasti mereka mengubah Amerika yg awalnya disebut sebagai lahan kritis menjadi lahan yg subur dan makmur bagi perkembangan Amerika.

“Disisi lain kebebasan hidup itu memakan korban yg tidak sedikit, sebab kebebasan hidup itu telah merampas kehidupan suku-suku Asli Amerika (Indian). Tanah dirampas, hak-hak dihapuskan, dan mereka hanya dijadikan warga negara kelas 2,3 dan seterusnya, lalu dimanakah sebenarnya demokrasi yg mereka maksudkan itu, yang katanya menurut hidup Allah tentang kehidupan bebas itu.
Akibat Demokrasi jugalah bangsa Papua menjadi masyarakat kelas sekian (mungkin 4,5,6 dan seterusnya) dan bisa kehilangan banyak sekali manusia,tanah serta isinya yg ada di air, dan udara”.



Saran : Kepada Pemuka Agama Kristen yang ada di tanah Papua mari ruang Demokrasi kita berikan pada Warga Papua tanpa tersisip Pemahaman Agama Kristen,walau mayoritas masyarakat Papua adalah umat Nasrani.Jadikanlah Papua CORONG Kasih yang Tak Berujung.
Demokrasi di Papua kaya nilai nilai Budaya Asli, saya yakin demokrasi terus berkembang sesuai dengan kearifan budaya dan lingkungan masyarakat ,rakyat Papua.
Mari kita bersama sama seluruh anak negri memperjuangkan REKOMENDASI KE SEBELAS:
“MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup” sesuai hasil Musyawarah Besar (Mubes) pada tanggal 9-10 Juni tahun 2010 di kantor MRP, Kotaraja. yang menghasilkan 11 rekomendasi kepada pemerintah pusat.
Mari kita sesama anak Negri membangun Papua yang Damai dan Sejahtera,di penuhi Cinta dan Kasih secara Universal.