Washington Consensus Vs BeijingConsensus

Era perang dingin (sosialisme versus kapitalisme), Bung Karno Poros (Jakarta-Peking-Moskow).
Bayangan Poros Jakarta-Beijing 2011 rentan menciptakan suasana mirip saat Ir Soekarno mengambil kebijakan anti nekolim (anti neo kolonialisasi, liberalisme dan imperalisme), yang artinya ketergantungan ekonomi kepada negara-negara blok barat diputuskan. Indonesia pun mulai melirik ke blok-blok timur. Soekarno membentuk hubungan poros Jakarta-Peking-Moscow.Indonesia dengan China telah menandatangani 22 perjanjian kerjasama diberbagai sektor. Hal ini terkait kedatangan Perdana Menteri China Wen Jiabao ke Indonesia hari Jumat 29 April 2011.Perjanjian yang ditandatangani tersebut menyangkut banyak sektor terdiri dari kerjasama pemerintah dengan pemerintah, bisnis dengan bisnis dan pemerintah dengan bisnis. Beberapa sektor yang akan ditandatangani yaitu industri manufaktur, investasi infrasturktur, terkait pembangunan daerah dan lain-lain.China berkomitmen akan berinvestasi di Indonesia dengan jumlah sangat besar hingga puluhan triliun rupiah. “Sekitar US$ 10-an miliar”.
Kondisi mendua diera Pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono sangat rentan dianggap oleh Amerika Serikat sebagai “ancaman” terhadap Ekonomi Global yang sarat muatan Ideologie.
Hutang Amerika pada China sedang dalam perdebatan,bukanlah hal yang tak mungkin Agen CIA bermain dibelakang Issue hangat akhir akhir ini untuk mengacaukan kondisi dalam negri.
Pertanyaannya apakah SBY mampu ciptakan alternatif ketiga,agar Negri ini tak dijadikan ajang sapi perahan ?.atau “adu banteng” seperti di Era Bung Karno ?.
Pertengahan Desember 2004 yang lalu pememang Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz, berceramah di depan undangan Ikatan Sarjana Ekonomi. Ia juga ketemu beberapa menteri dan pakar ekonomi secara pribadi, sebelum pergi ke Bali untuk menghadiri pertemuan internasional untuk pembiayaan pembangunan dan yang disponsor Bank Indonesia. Prof. Stiglitz terkenal sebagai pengeritik lembaga-lembaga internasional IMF. Bank Dunia dan WTO yang dilihatnya sebagai kepanjangan ideologi pemerintah AS yang pengaruhnya kepada lembaga-lembaga internasional itu besar sekali. “Ideologi” ekonomi AS ini cenderung mendukung globalisasi, liberalisasi dan privatisasi. “Washington Consensus” sarat muatan ideologi itu dan lewat IMF dipaksakan kepada pemerintah negara-negara berkembang kalau mereka ini membutuhkan bantuan dan harus menerima intervensi IMF. Tetapi, dalam praktek lebih banyak kegagalannya, terutama di Amerika Latin. Di Asia Timur, begitulah konklusi Stiglitz, justru negara-negara yang tidak mau didikte oleh IMF, seperti Korea Selatan dan Malaysia, lebih cepat keluar dari krisis ketimbang Indonesia dan Pilipina, yang terlalu mengikuti resep-resep IMF. Anjurannya adalah bahwa negara berkembang yang berhadapan dengan IMF dan Bank Dunia ini harus lebih tegas dalam pendiriannya, harus lebih tahu apa yang diperlukan oleh sebagian terbesar masyarakatnya yang masih miskin. Amerika Serikat sendiri tetap memberi proteksi kepada beberapa sektor pertanian dan industri, sehingga melakukan double standards di medan internasional. Maka negara berkembang juga berhak memberlakukan beberapa proteksi..
Wen Jia Bao mengatakan, negaranya akan terus meningkatkan kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Karena selama ini Indonesia dianggap sebagai partner perdagangan penting bagi China. “Indonesia dan China mempunyai potensi pasar yang besar. Kita harus memadukan strategi perkembangan kedua negara dan mengembangkan keunggulan masing-masing supaya saling menguntungkan,” jelas Bao.
Presiden SBY mengatakan Indonesia dan China akan bekerjasama mengatasi gejolak pangan dan energi di dunia.
“Di sini pentingnya kerjasama untuk meningkatkan food security dan energy security apakah itu peningkatan produksi dan produktivitas dan langkah-langkah stabilisasi harga. Saya garis bawahi pentingnya kerjasama ASEAN dan Tiongkok untuk tingkatkan ketahanan pangan regional,” katanya.
Sementara fakta di dalam negri Indonesia sendiri BANJIR Barang Import China yang telah membuat usaha dalam Negri MERIANG.

Keadaan khusus Indonesia adalah saratnya unsur KKN. Distorsi yang disebabkan oleh korupsi dan kolusi tidak masuk sebagai variabel dalam perhitungan Prof. Stiglitz. Yang penting baginya adalah bahwa “kekuatan pasar bebas” sering merugikan segmen-segmen besar masyarakat yang lemah, sehingga harus dilindungi oleh intervensi pemerintah.
Tetapi, untuk negara seperti Indonesia juga perlu diperhitungkan kualitas dari intervensi pemerintah itu. Intervensi pemerintah dalam sejarah Indonesia senantiasa banyak. Di zaman Sukarno merupakan unsur dominan. Di zaman Suharto intervensi pemerintah juga masih banyak. Di zaman pasca Suharto pun masih cukup banyak. Tetapi, kekuasaan yang diemban oleh pemerintah itu tidak selalu dipakai secara bersih dan tanpa pamrih oleh pelaku-pelaku pejabat pemerintah, termasuk tokoh-tokoh partai politik. Kecenderungan rent seeking (mengejar keuntungan dalam arti sempit), selalu tebal pada birokrasi dan bos-bos politiknya.
“Semoga sejarah kelam Indonesia disaat Bung Karno membuka Poros Jakarta-Peking-Moskow,tak terjadi ditengah suasana mesra Jakarta – Beijing 2011.”