Sejak era reformasi, banyak
partai yang hancur bukan karena sekadar kalah kompetisi, tetapi lebih karena
konflik internal yang tidak sehat. Akibatnya sering kali pecah kongsi partai.
Kekuatan partai menjadi berserakan. Konflik internal di beberapa partai.makin
menguatkan dugaan kalau liberalisasi politik belum memproduksi etika dan
tanggung jawab politik para elite partai. Walaupun politik memang urusan
kekuasaan, seperti kata Harold Laswel (politics is who gets what, when, and how),
namun bagaimanapun juga dalam alam demokrasi kekuasaan harus dikelola agar
tidak menimbulkan perpecahan internal yang merugikan kepentingan konstituen.
Maka bukan hanya Golkar, semua partai harus memperkuat kelembagaan partai jika
ingin terhindar dari turbulensi politik yang mengarah pada perpecahan. Partai
harus memiliki aturan yang jelas terkait mekanisme pencalonan kepala daerah,
anggota legislatif, dan presiden-wakil presiden. Apakah, misalnya, untuk
mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden, partai cukup mengadakan
musyawarah nasional ataukah menggunakan mekanisme konvensi seperti di Amerika. Kemudian soal penentuan pasangan capres dan
cawapres, apakah diumumkan sebelum ataukah setelah pemilu legislatif.
Dengan paradigma baru pada
Era Reformasi, Partai Golkar telah berkomitmen untuk membangun sistem demokrasi
bagi partai sekaligus bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, penetapan calon
presiden dari partai ini untuk Pemilu 2014 juga mesti dilakukan secara
demokratis.
Landasan
Pacu
Bertempat Hotel Labersa, Pekanbaru,
Riau tanggal 8 Oktober 2009,Ir Aburizal Bakrie berhasil mendulang 296
suara,mengalahkan pesaing utamanya, Surya Paloh, yang meraup 240 suara,
sementara tokoh muda Golkar Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan Yuddy
Chrisnandi tidak mendapatkan suara satupun. Pemilihan Ketua Umum DPP Partai
Golkar berlangsung secara demokratis dan terbuka, dipimpin Ketua Pimpinan Munas
VIII Fadel Muhammad. Peserta pemilihan diumumkan sebanyak 538 suara yang
terdiri atas unsur DPD I dan II Partai Golkar, DPP Partai Golkar, dan ormas
yang didirikan dan mendirikan Partai Golkar.
Pada penutupan Munas VIII Ir
Aburizal Bakrie menyampaikan : “Pilpres
2014 Golkar harus mencalonkan kadernya yang terbaik dan terpopuler. Tidak harus
ketua umum parpolnya, tetapi kader terbaik bagi partai.” Inilah pidato
ketua umum Ir Aburizal Bakrie yang sempat saya ingat,saat menjadi peninjau
diarena Munas VIII Partai Golkar di Pekan Baru-Riau.
Medan Kilas Balik
Mencatat
pengalaman-pengalaman terdahulu dan berbagai kecenderungan yang ada, maka dinamika
politik 2008 hingga 2012,telah diwarnai oleh sejumlah peristiwa yang
menggambarkan adanya turbulensi politik Partai Golkar.Publik mencatat bagaimana
kekalahan Jusuf Kalla-Wiranto,dalam Pilpres 2009,tak diragukan lagi adanya
“Penggembosan” dari internal Partai Golkar.Perolehan suara Partai Golkar dan
Hanura pada Pileg tak tercermin pada perolehan suara Pilpres.Publik juga
mencatat kemenangan Ir Aburizal Bakrie pada Munas VIII adalah kemenangan atas
Jusuf Kalla dan Surya Paloh.Partai Golkar merapat ke Cikeas setelah Munas VIII
menghasilkan koalisi pemerintahan SBY-Budiono dengan jabatan menteri.Dari
internal Golkar bukan rahasia lagi kemenangan Aburizal Bakrie pada Munas VIII
tak lepas dari “dukungan” SBY,hal tersebut makin nyata ketika Rizal Mallarangeng
menjadi salah satu pengurus DPP Partai Golkar.2 kakak beradik Rizal & Choel
Mallarangeng membantu Aburizal Bakrie dalam Munas VIII,tampak pada gaya
kampanye ala FOX.Dengan demikian maka mudahlah bagi Aburizal Bakrie dengan
status Ketua Umum Partai Golkar memutuskan koalisi pemerintahan.
Dalam perkembangannya kelak,
apakah pemerintah dapat dikatakan sebagai sebuah entitas politik yang makin
solid? Sejak awal, sesungguhnya telah dipahami bahwa, pemerintah hakikatnya
bukanlah merupakan sebuah entitas politik yang homogen, melainkan amat
heterogen. Pertama,: ada
kesepakatan-kesepakatan politik antar-Yudhoyono dengan ketua partai partai
pendukung koalisi pemerintahan,karena semua berangkat dari basis dan latar
beakang politik yang berbeda. Kecenderungan untuk bersaing memperebutkan
pengaruh politik antar tokoh parpol dalam koalisi tersebut, amat terbuka. Kedua: heterogen karena
komposisi kabinet terdiri dari menteri-menteri yang berlatar-belakang
partai-partai politik yang berbeda-beda. Homogenitas kabinet pada dasarnya
merupakan permukaan dari heterogenitas kepentingan partai-partai politik. Dalam
banyak kasus, terjadi tarik-menarik kepentingan pula antara elite politik
partai yang duduk di kabinet versus petinggi-petinggi partai politik yang
memayunginya. Realitas demikian, kerap “mengganggu” soliditas politik
pemerintah.
Bercermin dari apa yang
pernah terjadi 2004-2009,pemerintahan SBY-Budiono membentuk Sekertariat Bersama
Koalisi,dimana Aburizal Bakrie menjabat ketuanya.Antara kurun waktu 2004-2009
memang pernah terjadi drama interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas
kebijakan pemerintah terkait dengan nuklir Iran.Interpelasi demi interpelasi
merupakan tanda-tanda memburuknya hubungan DPR-Presiden kala itu,namun
antisipatif pemerintahan SBY-Budiono tak
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.Kita mencatat terjadi Pansus Bank
Cenruty meramaikan gedung DPR-RI rakyat Indonesia dipertontonkan lewat media
elektronika debat dan sanggah para politisi senayan.Kesan Partai Demokrat hanya
memiliki “kawan” setia koalisi PKB,hasilnya juga mencerminkan koalisi tak
menjamin “aman” kasus Century.Partai Golkar bahkan terkesan dominan dalam
berbagai debat Pansus Century,bahkan dalam berbagai kesempatan mengatakan
koalisi bukan dengan partai koalisi tapi Golkar koalisi dengan pemerintah.Kesan
mengambil perhatian rakyat sangat nampak,namun fakta berbicara lain,pansus
hanya menghasilkan keputusan politik semata,tak tuntas sampai akhir
2012.Sementara rakyat menghendaki adanya keputusan nyata dengan menetapkan siapapun
yang terbukti terlibat.Partai Golkar menunjuk pejabat pejabat kunci yang
bertanggung jawab dan harus ditindak atau diproses hukum lebih lanjut terutama
BO dan SMI.7 Fraksi (dimana terdapat partai koalisi pemerintah+PDIP,Hanura,dan
Gerindra) menyatakan kasus bailout Bank Century ada tindak pidananya hingga
penanganannya diserahkan keranah hukum.
Kekalahan partai Golkar pada
pemilu 2009 adalah cerminan ketidakpuasan hal itu mudah sekali diterjemahkan
kepada partai pendukung pemerintah. Itu artinya bahwa publik sudah cukup cerdas
menimbang kinerja partai politik, baik yang memilih mendukung pemerintah maupun
yang beroposisi. Kasus Golkar menarik karena sebagai partai pemenang pemilu
2004, tren pergeseran dukungan terjadi karena Golkar dinilai tidak responsif
terhadap isu-isu publik, seperti kemiskinan, kelaparan, kelangkaan elpiji,
banjir, bencana alam, Lapindo, penuntasan pelanggaran HAM, termasuk
penyelesaian kasus BLBI.
Makin menurunnya popularitas
Golkar juga tidak bisa dimungkiri adalah buah dari dinamika politik, baik di
tingkat eksekutif dan legislatif, yang ikut menyeret partai Golkar dalam
pencitraan yang negatif. Dalam beberapa kali kebijakan strategis negara, Golkar
tidak konsisten menunjukkan posisinya sebagai partai pendukung pemerintah. Golkar
seperti bermain di dua kaki, atau di area abu-abu, berdiri pada posisi
dilematis. Sebagai partai pendukung pemerintah, semestinya Golkar menjadi
partner pemerintah untuk mengamankan kebijakan strategis negara, terutama di
parlemen. Tapi dalam beberapa kasus, Golkar berbuat sebaliknya: berseberangan
dengan pemerintah. Ketidakjelasan seperti itulah yang membingungkan publik,
sekaligus menguntungkan PDIP sebagai partai oposisi yang konsisten pada
pilihannya pada pemilu 2009..
Apa pelajarannya? Partai yang
gagal menjadi mesin agregasi dan artikulasi kepentingan publik akan
ditinggalkan pemilih.Golkar dalam kepemimpinan Aburizal Bakrie ingin menepis
anggapan tersebut maka kasus bank Century dan Hambalang tetap komitmen harus
tuntas,hal ini dapat dilihat dari perlawanan di parlemen,dan berbagai
pernyataan elit Partai Golkar.Namun apa yang diharapkan publik tentu tak dapat
terwujud sebagaimana yang diharapkan.Bukankah jika kasus Century tuntas maka
Megawati dan Prabowo adalah presiden berikutnya menggantikan SBY-Budiono hampir
tak mungkin dilakukan oleh partai koalisi,namun publik diberi harapan.Berbeda
saat Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden 2004-2009,posisi 2 kaki Golkar tentu
memiliki kekautan mendasar,dari sekedar 3 jabatan menteri saat 2009-2014.
Turbulensi partai Golkar
juga berlanjut sejak Munas VIII Golkar Pekan Baru dimana kekalahan Surya Paloh
ternyata melahirkan Partai Nasional Demokrat.bahkan Jusuf Kalla nampak sangat
mesra dengan Partai Nasional Demokrat.
Februari 2010, Ical
memberikan ultimatum kepada Surya Paloh “tetap berada di Golkar atau
keluar.”
Ultimatum yang diberikan
Aburizal Bakrie cukup rasional, dengan resminya Nasional Demokrat menjadi
partai maka Nasdem bukan lagi sebuah ormas seperti yang selama itu diklaim oleh
Surya.Paloh.Jika diambil dari jumlah elit Golkar yang loyal pada Surya Paloh
dan memilih bergabung dengan Partai Nasdem mungkin 240 suara pada Munas VIII
Golkar patut dipertanyakan saat ini,kemana suara Pemilu Presiden 2014 nanti.
Perpindahan kader Golkar ke Nasdem telah
terjadi,hal yang dikuatirkan adalah beralihnya 240 suara Surya Paloh saat Munas
VIII Golkar 2009,namun dari berbagai survey kecenderungan menaiknya suara
Partai Golkar dapat dinilai kekuatiran itu terbantahkan.Mungkin untuk sementara
waktu jika memperhatikan jadwal pencalegkan sesuai jadwal KPU hampir tak
mungkin adanya perpindahan kader partai Golkar.Apakah ini yang dikuatirkan Ir
Akbar Tanjung dalam 2 kali surat Dewan Pertimbangan Partai Golkar terhadap
proses pencapresan Ir Aburizal Bakrie ?.
Dewan Pertimbangan Partai
Golkar pernah mengirimkan surat ke Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar, 25
April 2012.Isinya, usulan pada DPP untuk terlebih dahulu menyamakan proses
penetapan calon presiden yang mencakup sistem, tata cara, dan mekanismenya.Penetapan
calon presiden sepatutnya melibatkan semua stakeholders
(pemangku kepentingan) di partai. Itu mencakup seluruh jajaran pengurus partai
dari atas sampai bawah,termasuk pengurus di tingkat kabupaten dan kota, serta
organisasi yang berafiliasi pada partai
Namun saat itu tidak ada
percepatan penyelenggaraan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang
mengagendakan penetapan calon presiden (capres) dari partai Golkar. Justru yang
ada kebijakan yang menetapkan Rapimnas penetapan calon Presiden
selambat-lambatnya Juni 2012.Memang Rapimnas Partai Golkar lazimnya digelar
pada tiap bulan Oktober. Tetapi, dalam Rapimnas II pada 2011 yang telah
diputuskan bahwa penetapan nama capres dari partai Golkar dilakukan
selambat-lambatnya pada Juni 2012.
Dalam Rekomendasi Bidang
Pemenangan Pemilu Rapimnas II Partai Golkar tahun 2011 point 13 disebutkan:
"Setelah mendengarkan pemandangan umum dari seluruh DPD Partai Golkar dan
organisasi, baik yang mendirikan, didirikan, serta aspirasi masyarakat, yang
disampaikan pada Paripurna Rapimnas II Partai Golkar, maka Komisi C memohon DPP
Partai Golkar agar segera membuat penetapan Ir Aburizal Bakrie sebagai calon
presiden dari Partai Golkar pada Pemilu Presiden 2014, melalui mekanisme
partai, selambat-lambatnya pada bulan Juni 2012. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberi kesempatan yang lebih awal untuk melakukan sosialisasi dan konsolidasi
dalam strategi pemenangan Pemilu Presiden serta untuk meminimalisasi terjadinya
konflik di inter nal Partai."
Disebutkan pula di dalam
Rekomendasi Bidang Organisasi Rapimnas II Partai Golkar Tahun 2011 point 1:
"Merekomendasikan agar Rapimnas II Partai Golkar tahun 2011 menetapkan
sebagai Keputusan Rapimnas II tentang pencalonan Ir Aburizal Bakrie sebagai
Presiden Republik Indonesia tahun 2014."Diuraikan di huruf c pada point 1
itu: "Pengukuhan Ir Aburizal Bakrie sebagai calon presiden RI dari Partai
Golkar ditetapkan dalam Rapimnas III tahun 2012 dan/atau Rapimnas Khusus yang
dilaksanakan selambat-lambatnya pada akhir tahun 2012
Surat Dewan Petimbangan Partai
Golkar tertanggal 25 April 2012 tersebut jika dicermati juga bertujuan juga
untuk meminimalisasi konflik di internal partai sesuai Rekomendasi Bidang
Pemenangan Pemilu saat Rapimnas II Partai Golkar 2011.Hal mana sejalan dengan
pidato awal Ir Aburizal Bakrie saat terpilih : Pilpres 2014 Golkar harus mencalonkan kadernya yang terbaik dan
terpopuler. Tidak harus ketua umum parpolnya, tetapi kader terbaik bagi
partai.”
Rapimnas III Partai Golkar,
di Hotel Aston, Bogor, Jawa Barat, Jumat 29 Juni 2012.Kesediaan disampaikan
Aburizal saat menerima pinangan 21 kader Golkar yang mewakili sejumlah unsur
partai. Pimpinan rombongan, Sekretaris Jenderal Idrus Marham, menyatakan mereka
datang mewakili seluruh DPD I Golkar yang membawa surat meminta Aburizal
menjadi calon Presiden 2014.
Kini dipenghujung 2012 surat
kedua Dewan Pertimbangan Partai Golkar dikirim kepada DPP Partai Golkar.Isi
surat adalah saran intinya meminta agar elektabilitas Ical sebagai capres
partai tersebut segera ditingkatkan.Media pada ramai memberitakan “Ultimatum”
Dewan Pertimbangan,sebuah keberhasilan seorang Akbar Tanjung,yang memahami
kondisi perpolitikan memasuki 2013.Memang Dewan pertimbangan Partai Golkar tak
memiliki hak mengambil keputusan di partai,jika hal ini ditanggapi beberapa
elit yang sangat netral dengan mengatakan “Surat Dewan Pertimbangan ditujukan
untuk Rapimnas tahun 2013”.Wartawan mengelolah berita tanpa mengedepankan
pemahaman aturan yang berlaku diinternal partai,pengamatpun berkomentar
berdasarkan pernyataan bukan kenyataan.
Akibat praktik oligarki,
banyak partai yang belum sungguh-sungguh menerapkan sistem berpartai modern.
Kebanyakan partai belum menginjeksi demokrasi politik seperti partisipasi yang
luas (termasuk juga kuota perempuan), pelembagaan kepentingan, manajemen
kekuasaan yang demokratis, konflik tanpa perpecahan, dan rekrutmen berdasarkan merit
system. Sudah bukan saatnya lagi partai dioperasikan dengan cara-cara
oligarkis. Bagaimanapun juga partai harus menjadi medium kaderisasi yang sehat.
Dalam artian, kompetisi kekuasaan internal tidak boleh menabrak rel-rel
demokrasi. Siapa yang layak dialah yang memimpin. Siapa yang berkriteria kuat
untuk masuk bursa capres dan cawapres, dialah yang diberi jalan untuk bersaing.
Bukan malah mengunci pintu pencalonan karena sang ketua umum yang hendak
diamankan jalannya.
Biasanya konflik mengemuka
karena adanya faksionalisasi di tubuh internal akibat gagalnya manajemen
kekuasaan. Perbedaan kepentingan yang muncul di antara kekuatan-kekuatan
internal tidak dikelola secara demokratis dengan mengedepankan kompromi, jalan
tengah, malah justru dibiarkan sehingga dinamika menjadi tidak sehat.
Persaingan kepentingan tidak menguatkan kelembagaan partai, tapi justru
menghancurkan soliditas partai. Itu amat berbahaya bagi langkah partai politik
menuju Pemilu 2014.
Jika hal tersebut dibiarkan
maka pendakian Aburizal Bakrie ke Gunung Semeru akan menemui nasib yang sama
dengan Soe Hok Gie.